Sesuai dengan minat dan
kemauan dari masyararakat, jenis pohon apa yang ingin mereka tanam pada program
kemitraan yang akan dilakukan bersama KPHL Rinjani Timur. Sengon laut (Paraserianthes falcataria) menjadi
pilihan mereka dengan beberapa pertimbangan, sengon laut merupakan jenis pohon
yang cepat tumbuh, tidak mudah di serang penyakit dan jenis pohon yang cukup
baik pangsa pasarnya. Begitulah hasil testimoni dari beberapa orang yang sudah
berhasil melakukan budidaya sengon laut di lahan milik. Keberhasilan mereka
cukup terlihat, hal ini dibuktikan dengan tercapainya hajat mereka dalam
membeli barang-barang mewah atau melakukan aktifitas istimewa, misalnya membeli
mobil, bangun rumah, naik haji dan lain sebagainya, intinya adalah sesuatu yang
menguntungkan dari hasil menanam sengon laut. Berdasarkan cerita yang tersebar dari mulut ke mulut, masyarakatpun mulai antusias menanam sengon
laut dengan sebuah harapan kehidupan masa depan yang lebih baik. Investasi masa depan dalam bentuk tanaman
tahunan, untuk biaya pendidikan
anak-anak dan kebutuhan mereka.
Antusias masyarakat memang cukup tinggi, namun perjalanan program
kemitraan ini tidaklah semulus yang dibayangkan. “Mau sih, tapi…” sebuah kata “Tapi”
adalah sebuah kata yang sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya akan menjadi
sebuah tantangan bagi kami sebagai TIM Pendamping. Berada bersama-sama
masyarakat, memahamkan dan terus memahamkan masyarakat itulah tugas kami,
karena sebuah penolakan terhadap program
pemerintah bukan karena mereka seorang pembangkang tapi karena mereka belum
faham dan mengerti tentang kebaikan didalamnya. Tidak hanya itu, kami juga
menfasilitasi masyarakat dengan menghubungkan mereka ke pihak terkait untuk mengajukan
permohonan bantuan jika kami belum mampu memenuhi apa yang mereka butuhkan.
Salah satu permasalahan yang timbul baru-baru ini yaitu, adanya
kecemburuan sosial masyarakat terhadap program pemerintah. Dua program yang
berbeda dan dilaksanakan dalam satu kawasan. Kedua program tersebut berbeda
dalam sistem maupun tekniks pelaksanaanya. Misalnya yang terjadi saat ini, di
dalam kawasan kemitraan kami terdapat
dua program penanaman. Program penanaman pertama, yaitu program penanaman pasca
bencana dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB, yang mana sistem dari program
penanaman tersebut berupa proyek, yang dilakukan oleh masyarakat setempat
dengan menggunakan upah harian, mulai dari pembuatan lobang, pemasangan ajir
dan penanamannya masyarakat diberikan upah harian, ini merupakan program yang
sudah biasa dilakukan di masyarakat. Program penanaman ke dua yaitu program
penanaman kemitraan, program ini merupakan program baru di masyarakat, yaitu masyarakat yang
membuat lubang, memasang ajir, mengangkut bibit, menanam dan memelihara. Tak
ada upah harian dalam program kemitraan, namun program tersebut diikat dengan
sebuah naskah perjanjian bagi hasil. Persentase bagi hasi 40% untuk pemerintah
(KPH) sebagai pihak pertama pemilik lahan dan penyedia bibit dan 60% untuk
kelompok sebagai pihak ke dua sebagai pelaku penanam dan pemelihara tanaman.
Upah yang belum bisa diterima dan masih jauh dimata. Sekali lagi,
tentang kepercayaan… Modal kami adalah “Membangun
Kepercayaan” Kurang berhasilnya program pemerintah di HKM membuat
masyarakat sedikit pesimis melakukan penanaman, setelah difahamkan, terus diberikan informasi tentang
perbedaan antara kemitraan dan HKM akhirnya masyarakat memahami dan mau menanam
pohon. “Kami mau menanam, tapi…” Tapi yang pertama muncul akibat dari adanya
dua program yang di satu kawasan tersebut. “Kami,
mau menanam, tapi kami tak ada biaya untuk membuat lobang, memasang ajir,
mengangkut bibit ke lahan kami yang letaknya dibelakang bukit, semuanya butuh
biaya, dan resikonya tinggi jika kami pakai harian dan pohon yang ditanam mati,
kami yang dirugikan”. Sebuah sindiran halus dan gertakan kecil untuk kami
sebagai agen pembawa program kemitraan. Inti dari alasan yang mereka utarankan yaitu mereka masih meragukan program kami, tentang
kebenaran bahwa program kemitraan ini benar-benar bukanlah sebuah proyek
beruang.
Profesi kami sebagai pendamping masyarakat, pada intinya adalah bekerja
mengelola hati. Emang kudu banyak-banyak menegadahkan tangan pada sang pemilik
hati. Renungkanlah, masalah datang silih berganti untuk sebuah objek yang sama.
Masyarakat yang pada awalnya setuju dan antusias, tiba-tiba menjadi ragu dan
memunculkan beragam alasan. Berdasarkan prediksi dari BMKG setempat, kawasan
kemitraan yang kami bangun di desa Sugian adalah sekitar bulan januari baru
akan turun hujan. Namun, minggu terakrih bulan desember, menjelang tahun baru
2016 hujan deraspun turun dan beberapa hari setelahnya hujan turun
berutut-turut. Bibit bantuan dari PBDAS Dodokan Moyosari sudah tiba di tempat
sekitar pertengahan bulan desember. Harapan kami, masyarakat sudah bisa mulai
menanam, agar kualitas bibit yang di datangkan dari PBDAS Dodokan Moyosary
tetap terjaga. Disisi lain, target kami sebelum penanaman pasca bencana itu
dilakukan, program penanaman kemitraan sudah selesai. Hal tersebut untuk
mengantisipasi kecemburuan sosial yang akan terjadi dalam masyarakat. Tak
sesuai dengan apa yang telah kami rencanakan, pada kenyataannya sejauh ini
masyarakat belum ada yang membuat lobang penanaman.
Bismillahi min sulaimanu,
bisbillahirrahmannirrahiim… Sebuah kalimat pembuka yang baik untuk sebuah
pertemuan pengurus kelompok pada malam itu. Ya, malam itu, tepat pada tanggal
27 desember pada pukul 20.15 - 23.15 WITA, kami mencoba mengetuk hati
masyarakat dengan menguatkan kepercayaannya kembali yang dimulai dari pengurus
inti dan para ketua lapangan. Kami membahas tentang sistem pengangkutan bibit
dan penanaman di masyarakat. Alhamdulillah dari hasil musyawarah malam itu ada
jalan terang yang kami temukan terkait masalah yang kami hadapi. Pengangkutan
bibit dan penanaman dilakukan oleh masing-masing penggarap bersadarkan
kemampuan mereka mengangkut bibit ke lahan masing-masing. Tidak harus selesai
dalam satu waktu, penanaman terus mereka lakukan sepanjang turun hujan. Hal ini dapat meringankan mereka
karena tidak perlu mengeluarkan biaya harian untuk membayar upah pekerja.
Selain itu, masyarakat juga meminta untuk segera diselesaikannya dokumen
perjanjian untuk memperkuat kepercayaan mereka akan program tersebut dan
kamipun langsung merespon permintaan mereka.
Penanaman
dilakukan dengan menerapkan sistem jalur dan menggunakan jarak tanam 3 x 5
meter. Luasan lahan yang dikelola berbeda-beda antar penggarap sesuai dengan
lahan yang dikelola sebelumnya, namun pada program kemitraan ini batas maksimal
kelola lahan perpenggarap yaitu 2 Ha. Masyarakat bisa menanam tanaman palawija
di sela-sela jalur tersebut, umumnya
masyarakat memilih menanam padi, jagung dan kacang tanah sebagai tanaman di
sela jalur. Pola penanamannya sama
seperti pola penanaman sistem agroforestry. Kelebihan dari sistem tersebut yaitu, masyarakat
dapat merawat tanaman palawijanya sekaligus merawat bibit yang ditanam secara
intensif. Harapannya kedepan program tersebut dapat berjalan dengan optimal sehingga
masyarakat dapat memanen tanaman palawija dan pohon, dengan demikian maka
kesejahteraan ekonomi mereka akan lebih
baik.
Salam Hangat
TIM Pendamping Sugian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar